Wednesday, September 4, 2013

Surat Yang Tak Pernah Sampai

Karya: Gadis penaruh harapan


      Surat itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu ingin berbicara pada dirimu sendiri. Kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam. . . . . .  . tentang dia.
      Dia yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia yang kamu reka dan kamu cipta.
      Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir narulilah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu kirimkan lagi tiket bioskop, bon restoran,  semua tulisannya__ dari mulai nota berbaris sampai do'a berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan__ bukti-bukti bahwa kalian pernah tergila-gila_ bertebrangan masuk kematanya. Semoga ia pergi dan pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.
       Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, segila-gilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaranmurni akan cinta. Kemudian mendamparkan dirilah kalian kesebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang berbanding sejajar dengan cakrawala. . . .  itulah tujuan kalian.
       Kalau saja hidup tidak ber-evolusi, kalu saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.
       Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membantu untuk itu.
       Tapi hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.
        Kamu takut.
Kamu takut karena ingin jujur dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu. Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, tapi kamu cemas, kata 'sejarah' mulai menggantung hati-hati diatas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.
        Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh.
        Skenario perjalanan kalian, mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang dikepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan kedunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi ats nama cinta dan perjuangan yang Tidak Boleh Sia-Sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.
        Lama kamu baru menyadari bawha pengalaman merupakan bagia tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual. Lama bagi kamu untuk berani menoleh kebelakang, menghitung berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?
         Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, investasi waktu,  perasaan, serta perdagangan kalkulatif antara dua pihak.
         Cinta butuh dipelihara, bahwa didalam sepak terjangnya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.
          Cinta jangan selalu di tempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu entah kapan dan kenapa. Cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan disetiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan.... karena cinta adalah mengalami. Cinta tak hanya pikiran dan kenangan, lebih besar cinta adalah dia dan kamu. Interaksi.  Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cintapun hidup dan bukan cuma maskot yang disembah sujud.
          Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkan bergulir tanpa beban. Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini.
Hingga akhirnya. . . .
           Di meja itu kamu dikelililngi tulisan tangannya yang tersisa (kamu baru sadar betapa tidak adilnya ini semua, dan arsip, sehingga cuma kamulah yang tersiksa?)
jadi jangan heran jika kamu menagis sejadi-jadinya. Dia yang tidak pernah menyimpan gambar rupamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helai rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kamu hafal betul temferaturnya.
           Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidak relaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu. Dengan nyamuk-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detak jam dinding yang gagu karena habis daya.
     
           Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian. Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang usai.Tidak ada kata, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi tanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.
         Atau sebaliknya tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata 'jangan' yang mungkin, apabila diucapkan dan tindakan dengan tepat, akan membuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi. Kamupun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.
          Ketika surat-surat itu tiba dititiknya yang terakhir, masih akan ada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsyat itu. Dirimu yang mini tapi keras kepala menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyurut, maka kamu akan membiarkan sikecil itu bertahan semaunya.
        Mungkin pada suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan menjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentangi dirinya dengan tembok tebal yang tak bisa lagi di tembus atau mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mescucuar, kompas, bintang selatan. . . yang menunjukkan jalan pulang bagi hatimu untuk akhirnya menemuiku.


    Aku yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu. Surat-surat yang tak pernah sampai.

                                                          . . . . .

                                                              
                                                                                      #Dita 

No comments:

Post a Comment